Latar Belakang
Keperawatan sebagai profesi dituntut
untuk mengembangkan keilmuannya sebagai wujud kepeduliannya dalam meningkatkan
kesejahteraan umat manusia baik dalam tingkatan preklinik maupun klinik. Untuk
dapat mengembangkan keilmuannya maka keperawatan dituntut untuk peka terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya setiap saat.
American nurse’s association mendefenisikan keperawatan kesehatan jiwa sebagai
suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku
manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri yang bermanfaat sebagai kiatnya.
Asuhan yang kompeten.
Manfaat
1 Meningkatkan pemahaman perawat
terhadap hak-hak pasien dan hak legal perawat.
2 Sebagai dasar dalam mengembangkan ilmu keperawatan jiwa.
3 Mengetahui keterkaitan keperawatan jiwa tentang konteks legal etik dalam
asuhan keperawatan jiwa.
4 Sebagai landasan dalam melakukan penelitian baik klinik dan preklinik
TEORI
Pertimbangan
Legal dan Etik
Klien psikiatri memiliki hak legal, sama seperti klien di tempat lain. Isu legal dan etik yang
dibahas pada bagian ini terutama berkaitan dengan topik klien yang menunjukkan
sikap bermusuhan dan agresif, tetapi berlaku untuk semua klien di lingkungan
kesehatan jiwa.
A.
Hospitalisasi Involunter
Kebanyakan klien masuk ke tempat rawat inap atas dasar sukarela. Hal ini
berarti mereka ingin mencari terapi dan setuju dirawat di rumah sakit. Akan
tetapi, beberapa klien tidak mau dirawat di rumah sakit dan diobati. Keinginan
mereka dihargai kecuali mereka berbahaya bagi diri mereka sendiri atau orang
lain (misalnya : mereka mengancam atau berupaya bunuh diri atau membahayakan
orang lain). Klien yang dirawat di rumah sakit di luar kemauan mereka dengan
kondisi seperti ini dimasukkan ke rumah sakit untuk perawatan psikiatri sampai
mereka tidak lagi berbahaya bagi diri mereka sendiri atau orang lain. Setiap
negara bagian memiliki hukum yang mengatur proses komitmen sipil, tetapi sama
di setiap Negara bagian. Seseorang dapat ditahan di fasilitas psikiatri selama
48 sampai 72 jam karena keadaan darurat sampai dapat dilakukan pemeriksaan
untuk menentukkan apakah klien harus dimasukkan ke fasilitas psikiatri untuk
menjalani terapi selama periode waktu tertentu. Banyak negara bagian memiliki
hukum yang sama, yang mengatur komitmen klien dengan masalah penyalahgunaan zat
yang membahayakan diri mereka sendiri atau orang lain ketika di bawah pengaruh
zat. Komitmen sipil atau hospitalisasi involunter mengurangi hak klien untuk
bebas atau meninggalkan rumah sakit ketika ia menginginkannya. Hak klien yang
lain tetap utuh.
B. Keluar
dari Rumah Sakit
Klien yang masuk rumah sakit secara sukarela memiliki hak untuk meninggalkan
rumah sakit jika mereka tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain. Klien
dapat menandatangani suatu permintaan tertulis untuk pulang dan keluar dari
rumah sakit tanpa saran medis jika mereka tidak berbahaya. Apabila klien yang
masuk rumah sakit secara sukarela yang berbahaya bagi dirinya sendiri atau
orang lain menandatangani surat permintaan untuk pulang, psikiater dapat
mengajukan komitmen sipil untuk menahan klien terhadap keinginannya sampai
dapat dilakukan pemeriksaan untuk memutuskan hal tersebut.
Selama berada di rumah sakit, klien tersebut minum obat-obatan dan membaik
cukup cepat sehingga ia memenuhi syarat untuk pulang ketika ia tidak lagi
berbahaya. Beberapa klien berhenti minum obat-obatan setelah
pulang dari rumah sakit dan kembali mengancam, agresif, atau berbahaya. Klinisi
kesehatan jiwa semakin bertanggung jawab secara hukum untuk tindak kriminal
klien tersebut, yang meningkatkan perdebatan tentang komitmen sipil yang luas
untuk klien yang berbahaya. Studi yang di lakukan Weinberger et al. (1998)
menunjukkan bahwa pengadilan menerima kurang dari 50% petisi profesional
kesehatan jiwa untuk komitmen sipil yang luas pada klien psikiatri yang
berbahaya. Perhatian pengadilan adalah klien psikiatri memiliki hak sipil dan
tanpa alasan yang kuat tidak boleh ditahan di rumah sakit jika mereka tidak
menginginkannya ketika mereka tidak lagi berbahaya. Masyarakat menentang dengan
menuntut bahwa mereka patut dilindungi dari individu yang berbahaya, yang
memiliki riwayat tidak mengkonsumsi obat-obatan sehingga dapat menjadi ancaman
bagi masyarakat.
C. Hak-hak Klien
Klien kesehatan jiwa tetap memiliki semua hak sipil yang diberikan kepada semua
orang, kecuali hak untuk meninggalkan rumah sakit dalam kasus komitmen
involunter. Klien memiliki hak untuk menolak terapi, mengirim dan menerima
surat yang masih tertutup, dan menerima atau menolak pengunjung. Setiap
larangan ( misalnya : surat, pengunjung, pakaian) harus ditetapkan oleh
pengadilan atau instruksi dokter untuk alasan yang dapat diverifikasi dan
didokumentasikan
. Contohnya sebagai berikut :
• Klien yang pernah berupaya bunuh diri tidak diizinkan menyimpan ikat
pinggang, tali sepatu, atau gunting, karena benda tersebut dapat digunakan
untuk membahayakan dirinya.
• Klien yang menjadi agresif setelah kunjungan seseorang dilarang dikunjungi
orang tersebut selama suatu periode waktu.
• Klien yang mengancam orang lain di luar rumah sakit melalui telepon diizinkan
menelepon hanya jika diawasi sampai kondisinya membaik.
Hak-hak
Pasien Berdasarkan American Hospital Association (1992) :
1. Pasien
memiliki hak untuk mendapatkan perawatan yang penuh rasa hormat dan perhatian.
2. Pasien memiliki hak dan dianjurkan untuk memperoleh informasi yang dapat
dipahami, terkini, dan relevan tentang diagnosa, terapi, dan prognosis dari
dokter dan pemberi perawatan langsung lainnya.
3. Pasien memiliki hak untuk membuat keputusan tentang rencana perawatan
sebelum dan selama proses terapi dan menolak terapi yang direkomendasikan atau
rencana perawatan sejauh yang diperbolehkan oleh hukum dan kebijakan rumah
sakit dan diinformasikan tentang konsekuensi medis tindakan ini. Bila pasien
menolak terapi, pasien berhak memperoleh perawatan dan pelayanan lain yang
tepat, yang disediakan rumah sakit, atau dipindahkan ke rumah sakit lain. Rumah
sakit harus memberi tahu pasien tentang setiap kebijakan yang dapat memengaruhi
pilihan pasien di dalam institusi tersebut.
4. Pasien memiliki hak untuk meminta petunjuk lanjutan tentang terapi (
misalnya living will, perwalian perawatan kesehatan, atau menunjuk pengacara
untuk mengatur perawatan kesehatan selama waktu tertentu), dengan harapan bahwa
rumah sakit akan menerima maksud petunjuk tersebut sejauh yang diperbolehkan
oleh hukum dan kebijakan rumah sakit.
5. Pasien memiliki hak terhadap setiap pertimbangan privasi. Diskusi kasus,
konsultasi, pemeriksaan, dan terapi harus dilaksankan agar privasi setiap
pasien terlindungi.
6. Pasien memiliki hak untuk berharap bahwa semua komunikasi dan catatan yang
berhubungan dengan perawatannya akan dijaga kerahasiannya oleh rumah sakit,
kecuali pada kasus seperti kecurigaan tentang penganiayaan dan bahaya kesehatan
masyarakat, ketika pelaporan kasus tersebut diizinkan atau diwajibkan oleh
hukum. Pasien memiliki hak untuk berharap bahwa rumah sakit akan menegaskan
kerahasiaan informasi ini ketika memberi tahu pihak lain yang berhak meninjau
informasi dalam catatan tersebut.
7. Pasien memiliki hak untuk meninjau catatan yang berhubungan dengan perawatan
medisnya dan meminta penjelasan atau interpretasi informasi sesuai kebutuhan,
kecuali jika dilarang oleh hukum.
8. Pasien memiliki hak untuk berharap bahwa dalam kapasitas dan kebijakannya,
rumah sakit akan merespon dengan baik permintaan pasien untuk memperoleh
perawatan dan pelayanan yang tepat dan diindikasikan secara medis.
9. Pasien memiliki hak untuk bertanya dan diinformasikan tentang adanya
hubungan bisnis antara rumah sakit, institusi pendidikan, pemberi perawatan
kesehatan lain, atau pihak pembayar yang dapat memengaruhi terapi dan perawatan
pasien.
10. Pasien memiliki hak untuk menyetujui atau menolak partisipasi dalam studi
penelitian yang diajukan atau eksperimen pada manusia yang memengaruhi
perawatan dan terapi atau memerlukan keterlibatan pasien secara langsung, dan
meminta penjelasan sepenuhnya tentang studi tersebut sebelum memberi
persetujuan. Pasien yang menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian atau
eksperimen tetap berhak mendapat perawatan yang paling efektif, yang dapat
diberikan rumah sakit.
11. Pasien memiliki hak untuk menharapkan kontinuitas perawatan yang layak jika
tepat dan mendapat informasi dan dokter dan pemberi perawatan lain tentang
pilihan perawatan pasien yang realistis dan tersedia ketika perawatan rumah
sakit tidak lagi tepat.
12. Pasien memiliki hak untuk mendapat informasi tentang kebijakan dan praktik
di rumah sakit yang berhubungan dengan perawatan pasien, terapi, dan tanggung
jawab. Pasien memiliki hak untuk mendapat informasi tentang sumber yang
tersedia untuk mengatasi perselisihan, keluhan, dan konflik, misalnya komite
etik, perwakilan pasien, dan mekanisme lain yang tersedia di instusi. Pasien
memiliki hak mendapat informasi tentang biaya rumah sakit untuk pelayanan yang
diberikan dan metode pembayaran yang digunakan.
Hak pasien
jiwa secara umum (Stuart & Laraia, 2001) :
• Hak
untuk berkomunikasi dengan orang lain di luar RS dengan berkorespondensi,
telepon dan mendapatkan kunjungan
• Hak untuk berpakaian
• Hak untuk beribadah
• Hak untuk dipekerjakan apabila memungkinkan
• Hak untuk menyimpan dan membuang barang
• Hak untuk melaksanakan keinginannya
• Hak untuk memiliki hubungan kontraktual
• Hak untuk membeli barang
• Hak untuk pendidikan
• Hak untuk habeas corpus
• Hak untuk pemeriksaan jiwa atas inisiatif pasien
• Hak pelayanan sipil
• Hak mempertahankan lisensi hukum; supir, lisensi profesi
• Hak untuk memuntut dan dituntut
• Hak untuk menikah dan bercerai
• Hak untuk tidak mendapatkan restrain mekanik yang tidak perlu
• Hak untuk review status secara periodik
• Hak untuk perwalian hukum
• Hak untuk privasi
• Hak untuk informend consent
• Hak untuk menolak perawatan
D.
Konservator
Pengangkatan konservator atau pelindung hukum merupakan proses yang terpisah
dari komitmen sipil. Individu yang mengalami disabilitas berat terbukti tidak
kompeten tidak dapat menyediakan makanan, pakaian, dan tempat tinggal bagi diri
mereka sendiri walaupun sumber-sumber tersedia dan tidak dapat bertindak sesuai
keinginan mereka sendiri, dapat memerlukan pengangkatan seorang konservator.
Pada kasus ini, pengadilan menunjuk seseorang untuk bertindak sebagai pelindung
hukum. Petugas ini memiliki banyak tanggung jawab untuk individu tersebut,
seperti memberi persetujuan tindakan, menulis cek, dan membuat kontrak. Klien
yang memiliki pelindung hukum tidak lagi memiliki hak untuk membuat kontrak
atau persetujuan hukum (misal, pernikahan atau penggadaian) yang memerlukan
tanda tangan : hal ini mempengaruhi banyak aktivitas sehari-hari yang kita
anggap benar. Karena konservator atau pelindung hukum berbicara atas nama
klien, perawat harus mendapat persetujuan atau izin dari konservator klien.
E.
Lingkungan yang Kurang Restriktif
Klien memiliki hak untuk menjalani terapi di lingkungan yang kurang restriktif
yang tepat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini berarti bahwa klien tidak
harus dirawat di rumah sakit jika ia dapat diobati di lingkungan rawat jalan
atau group home. Hal ini juga berarti bahwa klien harus bebas dari
restrein atau seklusi kecuali hal tersebut dibutuhkan.
Restrein adalah aplikasi langsung kekuatan fisik pada
individu, tanpa izin individu tersebut, untuk membatasi kebebasan geraknya.
Kekuatan fisik ini dapat menggunakan tenga manusia, alat mekanis atau kombinasi
keduanya. Restrein dengan tenaga manusia terjadi ketika anggota staf secara
fisik mengendalikan klien dan memindahkannya ke ruang seklusi. Restrein mekanis
adalah peralatan, biasanya restrein pada pergelangan kaki dan pergelangan
tangan, yang diikatkan ke tempat tidur untuk mengurangi agresi fisik klien,
seperti memukul, menendang, dan menjambak rambut.
Seklusi adalah pengurungan involunter individu dalam
ruangan terkunci yang dibangun secara khusus serta dilengkapi dengan jendela
atau kamera pengaman untuk memantau klien secara langsung (JCAHO, 2000).
Ruangan tersebut sering kali dilengkapi dengan tempat tidur yang diikatkan ke
lantai dan sebuah kasur untuk keamanan. Setiap benda tajam atau berpotensi
berbahaya seperti pena, kacamata, ikat pinggang, dan korek api dijauhkan dari
klien sebagai tindakan kewaspadaan keselamatan. Seklusi membuat stimulasi berkurang, melindungi orang lain
dari klien, mencegah perusakan properti, dan memberi privasi kepada klien.
Tujuan seklusi ialah memberi klien kesempatan untuk memperoleh kembali
pengendalian diri secara fisik dan emosional.
Perawat
juga harus menawarkan dukungan kepada keluarga klien. Keluarga mungkin marah
atau malu ketika klien direstrein atau diseklusi. Penting untuk memberi
penjelasan yang menyeluruh dan cermat tentang perilaku klien dan penggunaan
restrein atau seklusi selanjutnya. Akan tetapi, apabila klien adalah orang
dewasa, diskusi tentang hal ini memerlukan persetujuan pemberian informasi yang
ditanda tangani. Pada kasus anak-anak, persetujuan yang ditanda tangani tidak
diperlukan untuk menginformasikan orang tua atau pelindung tentang penggunaan
restrein atau seklusi. Dengan memberi informasi kepada keluarga dapat membantu
menghindari kesulitan legal atau etik dan membuat keluarga tetap terlibat dalam
terapi klien.
Hirarki
Dalam Membatasi Pasien Jiwa (Stuart & Laraian, 2001) :
Pembatasan bisa dalam makna dibatasi secara fisik atau dibatasi pilihannya.
Hirarki dari yang paling restriktif ke yang kurang restriktif.
• Ekstrimitas tubuh
• Batasan ruang gerak ( kamar isolasi)
• Batasan dalam aktivitas sehari-hari, misal acara TV, waktu merokok,
komunikasi
• Aktivitas yang bermakna, misal akses untuk ikut rekreasi
• Pilihan perawatan
• Kontrol sumber keuangan
• Ekspresi verbal dan emosional
F.
Kewajiban untuk Memperingatkan Pihak Ketiga
Satu pengecualian terhadap hak klien dalam kerahasiaan ialah kewajiban untuk
memperingatkan, yang didasarkan pada keputusan Pengadilan Tinggi California,
dalam Tarasoff vs. Regents of the University of California. Akibat keputusan
ini ialah klinisi kesehatan jiwa berkewajiban untuk memperingatkan pihak ketiga
yang dapat diidentifikasi tentang ancaman yang dilakukan seseorang walaupun
ancaman tersebut didiskusikan selama sesi terapi, yang sebaliknya dilindungi
oleh pihak istimewa.
Klinisi
harus mengajukan empat pertanyaan untuk menentukan apakah terdapat kewajiban
untuk memperingatkan (Felthous, 1999) :
• Apakah klien berbahaya bagi orang lain ?
• Apakah bahaya tersebut akibat gangguan jiwa serius ?
• Apakah bahaya tersebut segera terjadi ?
• Apakah bahaya tersebut ditargetkan pada korban yang dapart diidentifikasi ?
Misalnya,
jika seorang pria dimasukkan ke fasilitas psikiatri karena ia bermaksud
membunuh istrinya, ada suatu kewajiban yang jelas untuk memperingatkan
istrinya. Akan tetapi, jika individu paranoid yang masuk fasilitas psikiatri
mengatakan, “ Saya akan menangkap mereka sebelum mereka menangkap saya” tetapi
tidak memberikan informasi lain, tidak ada pihak ketiga spesifik yang
diperingatkan. Keputusan tentang kewajiban untuk memperingatkan pihak ketiga
biasanya dibuat oleh psikiater, atau dilingkungan rawat jalan, keputusan dibuat
oleh ahli terapi kesehatan jiwa yang berkualifikasi.
G. Peran
Legal Perawat
Perawat jiwa memiliki hak dan tanggung jawab dalam tiga peran legal:
1. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan
2. Perawat sebagai pekerja
3. Perawat sebagai warga Negara.
Perawat
mungkin mengalami konflik kepentingan antara hak dan tanggung jawab ini.
Penilaian keperawatan propsesinal memerlukan pemeriksaan yang teliti dalam
konteks asuhan keperawatan, kemungkinan konsekuensi tindakan keperawatan, dan
alternative yang mungkin dilakukan perawat.
Masalah
Legal Dalam Praktek Keperawatan
• Dapat terjadi bila tidak tersedia tenaga keperawatan yg memadai tidak
tersedia standar praktek dan tidak ada kontrak kerja.
• Perawat profesional perlu memahami aspek legal untuk melindungi diri dan
melindungi hak-hak pasien dan memahami batas legal yang mempengaruhi praktek
keperawatan.
• Pedoman legal Undang-undang praktek, peraturan Kep Men Kes No 1239 dan Hukum
adat.
H.
Pertanggung Jawaban Pidana Terkait Dengan Kondisi Jiwa Seseorang
• Tindakan kriminal yang dilakukan oleh seseorang yang diduga memiliki kelainan
jiwa perlu mendapatkan penyelididkan dari seorang ahli kesehatan jiwa ( Visum
et repertum psikiatrikum; VER)
• Argumen yang menyebutkan bahwa seseorang yang didakwa melakukan tindakan
kriminal dianggap tidak bersalah karena orang tersebut tidak bisa mengontrol
perbuatannya atau tidak mengerti perbedaan antara benar dan salah yang dikenal
sebagai Peraturan M’Naghten.
• Saat orang tersebut memenuhi kriteria, dia dapat dinyatakan tidak bersalah
karena mengalami gangguan jiwa.