Rabu, 21 Oktober 2015

ASPEK LEGAL ETIK DALAM ASUHAN KEPERAWATAN JIWA



Latar Belakang
Keperawatan sebagai profesi dituntut untuk mengembangkan keilmuannya sebagai wujud kepeduliannya dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia baik dalam tingkatan preklinik maupun klinik. Untuk dapat mengembangkan keilmuannya maka keperawatan dituntut untuk peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya setiap saat.
American nurse’s association mendefenisikan keperawatan kesehatan jiwa sebagai suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri yang bermanfaat sebagai kiatnya. Asuhan yang kompeten.
 Manfaat                                                                                                    
1 Meningkatkan pemahaman perawat terhadap hak-hak pasien dan hak legal perawat.
2 Sebagai dasar dalam mengembangkan ilmu keperawatan jiwa.
3 Mengetahui keterkaitan keperawatan jiwa tentang konteks legal etik dalam asuhan keperawatan jiwa.
4 Sebagai landasan dalam melakukan penelitian baik klinik dan preklinik
TEORI
Pertimbangan Legal dan Etik
Klien psikiatri memiliki hak legal, sama seperti klien di
tempat lain. Isu legal dan etik yang dibahas pada bagian ini terutama berkaitan dengan topik klien yang menunjukkan sikap bermusuhan dan agresif, tetapi berlaku untuk semua klien di lingkungan kesehatan jiwa.
A. Hospitalisasi Involunter
Kebanyakan klien masuk ke tempat rawat inap atas dasar sukarela. Hal ini berarti mereka ingin mencari terapi dan setuju dirawat di rumah sakit. Akan tetapi, beberapa klien tidak mau dirawat di rumah sakit dan diobati. Keinginan mereka dihargai kecuali mereka berbahaya bagi diri mereka sendiri atau orang lain (misalnya : mereka mengancam atau berupaya bunuh diri atau membahayakan orang lain). Klien yang dirawat di rumah sakit di luar kemauan mereka dengan kondisi seperti ini dimasukkan ke rumah sakit untuk perawatan psikiatri sampai mereka tidak lagi berbahaya bagi diri mereka sendiri atau orang lain. Setiap negara bagian memiliki hukum yang mengatur proses komitmen sipil, tetapi sama di setiap Negara bagian. Seseorang dapat ditahan di fasilitas psikiatri selama 48 sampai 72 jam karena keadaan darurat sampai dapat dilakukan pemeriksaan untuk menentukkan apakah klien harus dimasukkan ke fasilitas psikiatri untuk menjalani terapi selama periode waktu tertentu. Banyak negara bagian memiliki hukum yang sama, yang mengatur komitmen klien dengan masalah penyalahgunaan zat yang membahayakan diri mereka sendiri atau orang lain ketika di bawah pengaruh zat. Komitmen sipil atau hospitalisasi involunter mengurangi hak klien untuk bebas atau meninggalkan rumah sakit ketika ia menginginkannya. Hak klien yang lain tetap utuh.
B. Keluar dari Rumah Sakit
Klien yang masuk rumah sakit secara sukarela memiliki hak untuk meninggalkan rumah sakit jika mereka tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain. Klien dapat menandatangani suatu permintaan tertulis untuk pulang dan keluar dari rumah sakit tanpa saran medis jika mereka tidak berbahaya. Apabila klien yang masuk rumah sakit secara sukarela yang berbahaya bagi dirinya sendiri atau orang lain menandatangani surat permintaan untuk pulang, psikiater dapat mengajukan komitmen sipil untuk menahan klien terhadap keinginannya sampai dapat dilakukan pemeriksaan untuk memutuskan hal tersebut.
Selama berada di rumah sakit, klien tersebut minum obat-obatan dan membaik cukup cepat sehingga ia memenuhi syarat untuk pulang ketika ia tidak lagi berbahaya.
Beberapa klien berhenti minum obat-obatan setelah pulang dari rumah sakit dan kembali mengancam, agresif, atau berbahaya. Klinisi kesehatan jiwa semakin bertanggung jawab secara hukum untuk tindak kriminal klien tersebut, yang meningkatkan perdebatan tentang komitmen sipil yang luas untuk klien yang berbahaya. Studi yang di lakukan Weinberger et al. (1998) menunjukkan bahwa pengadilan menerima kurang dari 50% petisi profesional kesehatan jiwa untuk komitmen sipil yang luas pada klien psikiatri yang berbahaya. Perhatian pengadilan adalah klien psikiatri memiliki hak sipil dan tanpa alasan yang kuat tidak boleh ditahan di rumah sakit jika mereka tidak menginginkannya ketika mereka tidak lagi berbahaya. Masyarakat menentang dengan menuntut bahwa mereka patut dilindungi dari individu yang berbahaya, yang memiliki riwayat tidak mengkonsumsi obat-obatan sehingga dapat menjadi ancaman bagi masyarakat.
C. Hak-hak Klien
Klien kesehatan jiwa tetap memiliki semua hak sipil yang diberikan kepada semua orang, kecuali hak untuk meninggalkan rumah sakit dalam kasus komitmen involunter. Klien memiliki hak untuk menolak terapi, mengirim dan menerima surat yang masih tertutup, dan menerima atau menolak pengunjung. Setiap larangan ( misalnya : surat, pengunjung, pakaian) harus ditetapkan oleh pengadilan atau instruksi dokter untuk alasan yang dapat diverifikasi dan didokumentasikan
. Contohnya sebagai berikut :
• Klien yang pernah berupaya bunuh diri tidak diizinkan menyimpan ikat pinggang, tali sepatu, atau gunting, karena benda tersebut dapat digunakan untuk membahayakan dirinya.
• Klien yang menjadi agresif setelah kunjungan seseorang dilarang dikunjungi orang tersebut selama suatu periode waktu.
• Klien yang mengancam orang lain di luar rumah sakit melalui telepon diizinkan menelepon hanya jika diawasi sampai kondisinya membaik.
Hak-hak Pasien Berdasarkan American Hospital Association (1992) :
1. Pasien memiliki hak untuk mendapatkan perawatan yang penuh rasa hormat dan perhatian.
2. Pasien memiliki hak dan dianjurkan untuk memperoleh informasi yang dapat dipahami, terkini, dan relevan tentang diagnosa, terapi, dan prognosis dari dokter dan pemberi perawatan langsung lainnya.
3. Pasien memiliki hak untuk membuat keputusan tentang rencana perawatan sebelum dan selama proses terapi dan menolak terapi yang direkomendasikan atau rencana perawatan sejauh yang diperbolehkan oleh hukum dan kebijakan rumah sakit dan diinformasikan tentang konsekuensi medis tindakan ini. Bila pasien menolak terapi, pasien berhak memperoleh perawatan dan pelayanan lain yang tepat, yang disediakan rumah sakit, atau dipindahkan ke rumah sakit lain. Rumah sakit harus memberi tahu pasien tentang setiap kebijakan yang dapat memengaruhi pilihan pasien di dalam institusi tersebut.
4. Pasien memiliki hak untuk meminta petunjuk lanjutan tentang terapi ( misalnya living will, perwalian perawatan kesehatan, atau menunjuk pengacara untuk mengatur perawatan kesehatan selama waktu tertentu), dengan harapan bahwa rumah sakit akan menerima maksud petunjuk tersebut sejauh yang diperbolehkan oleh hukum dan kebijakan rumah sakit.
5. Pasien memiliki hak terhadap setiap pertimbangan privasi. Diskusi kasus, konsultasi, pemeriksaan, dan terapi harus dilaksankan agar privasi setiap pasien terlindungi.
6. Pasien memiliki hak untuk berharap bahwa semua komunikasi dan catatan yang berhubungan dengan perawatannya akan dijaga kerahasiannya oleh rumah sakit, kecuali pada kasus seperti kecurigaan tentang penganiayaan dan bahaya kesehatan masyarakat, ketika pelaporan kasus tersebut diizinkan atau diwajibkan oleh hukum. Pasien memiliki hak untuk berharap bahwa rumah sakit akan menegaskan kerahasiaan informasi ini ketika memberi tahu pihak lain yang berhak meninjau informasi dalam catatan tersebut.
7. Pasien memiliki hak untuk meninjau catatan yang berhubungan dengan perawatan medisnya dan meminta penjelasan atau interpretasi informasi sesuai kebutuhan, kecuali jika dilarang oleh hukum.
8. Pasien memiliki hak untuk berharap bahwa dalam kapasitas dan kebijakannya, rumah sakit akan merespon dengan baik permintaan pasien untuk memperoleh perawatan dan pelayanan yang tepat dan diindikasikan secara medis.
9. Pasien memiliki hak untuk bertanya dan diinformasikan tentang adanya hubungan bisnis antara rumah sakit, institusi pendidikan, pemberi perawatan kesehatan lain, atau pihak pembayar yang dapat memengaruhi terapi dan perawatan pasien.
10. Pasien memiliki hak untuk menyetujui atau menolak partisipasi dalam studi penelitian yang diajukan atau eksperimen pada manusia yang memengaruhi perawatan dan terapi atau memerlukan keterlibatan pasien secara langsung, dan meminta penjelasan sepenuhnya tentang studi tersebut sebelum memberi persetujuan. Pasien yang menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian atau eksperimen tetap berhak mendapat perawatan yang paling efektif, yang dapat diberikan rumah sakit.
11. Pasien memiliki hak untuk menharapkan kontinuitas perawatan yang layak jika tepat dan mendapat informasi dan dokter dan pemberi perawatan lain tentang pilihan perawatan pasien yang realistis dan tersedia ketika perawatan rumah sakit tidak lagi tepat.
12. Pasien memiliki hak untuk mendapat informasi tentang kebijakan dan praktik di rumah sakit yang berhubungan dengan perawatan pasien, terapi, dan tanggung jawab. Pasien memiliki hak untuk mendapat informasi tentang sumber yang tersedia untuk mengatasi perselisihan, keluhan, dan konflik, misalnya komite etik, perwakilan pasien, dan mekanisme lain yang tersedia di instusi. Pasien memiliki hak mendapat informasi tentang biaya rumah sakit untuk pelayanan yang diberikan dan metode pembayaran yang digunakan.
Hak pasien jiwa secara umum (Stuart & Laraia, 2001) :
• Hak untuk berkomunikasi dengan orang lain di luar RS dengan berkorespondensi, telepon dan mendapatkan kunjungan
• Hak untuk berpakaian
• Hak untuk beribadah
• Hak untuk dipekerjakan apabila memungkinkan
• Hak untuk menyimpan dan membuang barang
• Hak untuk melaksanakan keinginannya
• Hak untuk memiliki hubungan kontraktual
• Hak untuk membeli barang
• Hak untuk pendidikan
• Hak untuk habeas corpus
• Hak untuk pemeriksaan jiwa atas inisiatif pasien
• Hak pelayanan sipil
• Hak mempertahankan lisensi hukum; supir, lisensi profesi
• Hak untuk memuntut dan dituntut
• Hak untuk menikah dan bercerai
• Hak untuk tidak mendapatkan restrain mekanik yang tidak perlu
• Hak untuk review status secara periodik
• Hak untuk perwalian hukum
• Hak untuk privasi
• Hak untuk informend consent
• Hak untuk menolak perawatan
D. Konservator
Pengangkatan konservator atau pelindung hukum merupakan proses yang terpisah dari komitmen sipil. Individu yang mengalami disabilitas berat terbukti tidak kompeten tidak dapat menyediakan makanan, pakaian, dan tempat tinggal bagi diri mereka sendiri walaupun sumber-sumber tersedia dan tidak dapat bertindak sesuai keinginan mereka sendiri, dapat memerlukan pengangkatan seorang konservator. Pada kasus ini, pengadilan menunjuk seseorang untuk bertindak sebagai pelindung hukum. Petugas ini memiliki banyak tanggung jawab untuk individu tersebut, seperti memberi persetujuan tindakan, menulis cek, dan membuat kontrak. Klien yang memiliki pelindung hukum tidak lagi memiliki hak untuk membuat kontrak atau persetujuan hukum (misal, pernikahan atau penggadaian) yang memerlukan tanda tangan : hal ini mempengaruhi banyak aktivitas sehari-hari yang kita anggap benar. Karena konservator atau pelindung hukum berbicara atas nama klien, perawat harus mendapat persetujuan atau izin dari konservator klien.
E. Lingkungan yang Kurang Restriktif
Klien memiliki hak untuk menjalani terapi di lingkungan yang kurang restriktif yang tepat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini berarti bahwa klien tidak harus dirawat di rumah sakit jika ia dapat diobati di lingkungan rawat jalan atau group home.
Hal ini juga berarti bahwa klien harus bebas dari restrein atau seklusi kecuali hal tersebut dibutuhkan.
Restrein adalah aplikasi langsung kekuatan fisik pada individu, tanpa izin individu tersebut, untuk membatasi kebebasan geraknya. Kekuatan fisik ini dapat menggunakan tenga manusia, alat mekanis atau kombinasi keduanya. Restrein dengan tenaga manusia terjadi ketika anggota staf secara fisik mengendalikan klien dan memindahkannya ke ruang seklusi. Restrein mekanis adalah peralatan, biasanya restrein pada pergelangan kaki dan pergelangan tangan, yang diikatkan ke tempat tidur untuk mengurangi agresi fisik klien, seperti memukul, menendang, dan menjambak rambut.
Seklusi adalah pengurungan involunter individu dalam ruangan terkunci yang dibangun secara khusus serta dilengkapi dengan jendela atau kamera pengaman untuk memantau klien secara langsung (JCAHO, 2000). Ruangan tersebut sering kali dilengkapi dengan tempat tidur yang diikatkan ke lantai dan sebuah kasur untuk keamanan. Setiap benda tajam atau berpotensi berbahaya seperti pena, kacamata, ikat pinggang, dan korek api dijauhkan dari klien sebagai tindakan kewaspadaan keselamatan. Seklusi membuat stimulasi berkurang, melindungi orang lain dari klien, mencegah perusakan properti, dan memberi privasi kepada klien.
Tujuan seklusi ialah memberi klien kesempatan untuk memperoleh kembali pengendalian diri secara fisik dan emosional.
Perawat juga harus menawarkan dukungan kepada keluarga klien. Keluarga mungkin marah atau malu ketika klien direstrein atau diseklusi. Penting untuk memberi penjelasan yang menyeluruh dan cermat tentang perilaku klien dan penggunaan restrein atau seklusi selanjutnya. Akan tetapi, apabila klien adalah orang dewasa, diskusi tentang hal ini memerlukan persetujuan pemberian informasi yang ditanda tangani. Pada kasus anak-anak, persetujuan yang ditanda tangani tidak diperlukan untuk menginformasikan orang tua atau pelindung tentang penggunaan restrein atau seklusi. Dengan memberi informasi kepada keluarga dapat membantu menghindari kesulitan legal atau etik dan membuat keluarga tetap terlibat dalam terapi klien.
Hirarki Dalam Membatasi Pasien Jiwa (Stuart & Laraian, 2001) :
Pembatasan bisa dalam makna dibatasi secara fisik atau dibatasi pilihannya. Hirarki dari yang paling restriktif ke yang kurang restriktif.
• Ekstrimitas tubuh
• Batasan ruang gerak ( kamar isolasi)
• Batasan dalam aktivitas sehari-hari, misal acara TV, waktu merokok, komunikasi
• Aktivitas yang bermakna, misal akses untuk ikut rekreasi
• Pilihan perawatan
• Kontrol sumber keuangan
• Ekspresi verbal dan emosional
F. Kewajiban untuk Memperingatkan Pihak Ketiga
Satu pengecualian terhadap hak klien dalam kerahasiaan ialah kewajiban untuk memperingatkan, yang didasarkan pada keputusan Pengadilan Tinggi California, dalam Tarasoff vs. Regents of the University of California. Akibat keputusan ini ialah klinisi kesehatan jiwa berkewajiban untuk memperingatkan pihak ketiga yang dapat diidentifikasi tentang ancaman yang dilakukan seseorang walaupun ancaman tersebut didiskusikan selama sesi terapi, yang sebaliknya dilindungi oleh pihak istimewa.
Klinisi harus mengajukan empat pertanyaan untuk menentukan apakah terdapat kewajiban untuk memperingatkan (Felthous, 1999) :
• Apakah klien berbahaya bagi orang lain ?
• Apakah bahaya tersebut akibat gangguan jiwa serius ?
• Apakah bahaya tersebut segera terjadi ?
• Apakah bahaya tersebut ditargetkan pada korban yang dapart diidentifikasi ?
Misalnya, jika seorang pria dimasukkan ke fasilitas psikiatri karena ia bermaksud membunuh istrinya, ada suatu kewajiban yang jelas untuk memperingatkan istrinya. Akan tetapi, jika individu paranoid yang masuk fasilitas psikiatri mengatakan, “ Saya akan menangkap mereka sebelum mereka menangkap saya” tetapi tidak memberikan informasi lain, tidak ada pihak ketiga spesifik yang diperingatkan. Keputusan tentang kewajiban untuk memperingatkan pihak ketiga biasanya dibuat oleh psikiater, atau dilingkungan rawat jalan, keputusan dibuat oleh ahli terapi kesehatan jiwa yang berkualifikasi.
G. Peran Legal Perawat
Perawat jiwa memiliki hak dan tanggung jawab dalam tiga peran legal:
1. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan
2. Perawat sebagai pekerja
3. Perawat sebagai warga Negara.
Perawat mungkin mengalami konflik kepentingan antara hak dan tanggung jawab ini. Penilaian keperawatan propsesinal memerlukan pemeriksaan yang teliti dalam konteks asuhan keperawatan, kemungkinan konsekuensi tindakan keperawatan, dan alternative yang mungkin dilakukan perawat.
Masalah Legal Dalam Praktek Keperawatan
• Dapat terjadi bila tidak tersedia tenaga keperawatan yg memadai tidak tersedia standar praktek dan tidak ada kontrak kerja.
• Perawat profesional perlu memahami aspek legal untuk melindungi diri dan melindungi hak-hak pasien dan memahami batas legal yang mempengaruhi praktek keperawatan.
• Pedoman legal Undang-undang praktek, peraturan Kep Men Kes No 1239 dan Hukum adat.
H. Pertanggung Jawaban Pidana Terkait Dengan Kondisi Jiwa Seseorang
• Tindakan kriminal yang dilakukan oleh seseorang yang diduga memiliki kelainan jiwa perlu mendapatkan penyelididkan dari seorang ahli kesehatan jiwa ( Visum et repertum psikiatrikum; VER)
• Argumen yang menyebutkan bahwa seseorang yang didakwa melakukan tindakan kriminal dianggap tidak bersalah karena orang tersebut tidak bisa mengontrol perbuatannya atau tidak mengerti perbedaan antara benar dan salah yang dikenal sebagai Peraturan M’Naghten.
• Saat orang tersebut memenuhi kriteria, dia dapat dinyatakan tidak bersalah karena mengalami gangguan jiwa.